Ini sebuah pengalaman berharga sekaligus menggetarkan bagi dr. Faradina Sulistiyani, Sp.B, M.Ked.Klin. Betapa tidak? Dokter spesialis bedah umum RSI Surabaya A. Yani ini mendapat kesempatan langka: ikut menjadi relawan tenaga medis dalam kancah pertempuran di Gaza, Palestina.
Dia mengalami uji mental bekerja menolong pasien di bawah ancaman bom yang bisa saja datang sewaktu-waktu dari drone di udara. Meski menyandang status sebagai tenaga medis dan berada di bawah naungan organisasi sosial kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), tidak ada jaminan nyawanya aman seratus persen. Karena segenap regulasi dan kode etik, cenderung tidak berlaku dalam perang aktif yang brutal itu. Maka dr. Faradina mengaku timnya harus ikut sesuai jalur yang dilaporkan ke WHO, tetap berada di jalur hijau, agar dapat aman bekerja.
Semua ini bermula dari niatan dr Dina untuk turut membantu korban perang. Dia mengaku tidak terlalu paham silang sengkarut masalah politik yang melingkupi permusuhan zionis Israel dengan Palestina. Hanya satu yang menjadi pegangannya. Pada dasarnya muslim itu seperti satu tubuh, ketika satu anggota tubuh mengalami sakit maka anggota tubuh yang lain juga merasakannya.
“Juga gara-gara dulu pernah mendengar kisah dari teman kuliah di Unair. Dia warga Palestina, bernama Ahmad Humidat. Saya lupa apa yang diceritakan, tapi ingat ekspresi wajahnya yang menahan tangis. Kami menangkap kesedihannya. Lalu timbul niat untuk membantu, bila kelak ada kesempatan,” kata perempuan yang masih single ini.
Ternyata kemudian MER-C membuka rekrutmen. Dokter ini pun mendaftar via online dan melalui seleksi ketat. “Qadarullah, saya diterima. Awalnya saya sempat tidak percaya,” katanya. Maka tujuh relawan dari Indonesia bertolak ke Palestina melalui Mesir. Dijadwalkan masuk Rafah pada 6 Mei 2024 lalu. Rafah adalah satu-satunya pintu masuk bagi bantuan kemanusiaan ke warga Palestina.
Tak gampang masuk ke sana, situasi berubah mendadak. Israel melakukan serangan darat ke Rafah, padahal sebelumnya hanya menyerang via udara. Rombongan dari MER-C maupun dari NGO Amerika dan Inggris dilarang masuk. Semua harus stay, menunggu sampai batas yang tidak menentu. Sempat muncul saran dari MER-C, agar tim relawan ini pulang saja ke Indonesia, karena situasi sangat berbahaya.
“Anehnya, kami justru tidak merasa takut, malah merasa harus segera masuk Gaza, walaupun akhirnya memang harus melewati Rafah. Logikanya, saat perang meletus tentu sangat butuh tenaga medis untuk pertolongan,” kata dr. Dina mengenang.
Setelah tiga pekan menunggu, akhirnya mereka diizinkan masuk melalui Yordania lanjut masuk perbatasan Israel lewat pintu Karim Abu Salim (Karim Shalom), sebelum akhirnya bisa masuk Rafah dan Gaza. Jumlah relawan sangat dibatasi. Dari MER-C hanya dua yang boleh masuk, itupun dilarang membawa peralatan medis. Dokter spesialis bedah Faradina dan dokter anestesi dari Pidie Aceh yang terpilih. Keduanya ditempatkan di RS Naseer Complex Hospital, salah satu rumah sakit terbesar yang berlokasi di Khan Younis, Jalur Gaza.
Ini merupakan rumah sakit rujukan. Pasien yang masuk adalah korban perang yang terluka parah, bahkan sebagian adalah pasien yang sudah menjalani operasi dua atau tiga kali, kemudian harus “direparasi” lagi ke RS ini, untuk menuntaskan pengambilan pecahan bom (shrapnel) di beberapa bagian dalam tubuhnya. Sungguh mengiris hati, ketika ada pasien berucap lirih, “Ini operasi yang terakhir kan, dokter?”
Di sini tantangan benar-benar nyata. Sebagai dokter spesialis bedah umum dr. Dina harus dapat bekerja di kamar operasi dengan keterbatasan peralatan dan obat. Dalam situasi seperti itu, dirinya mengaku mendapatkan pengalaman berharga, yaitu dapat mengembangkan keterampilan menjalankan tindakan dalam kondisi darurat dan tidak terprediksikan.
Yang membuat dr Dina terkagum-kagum adalah ketabahan dan daya tahan warga Palestina terhadap penderitaan. Ketika ditanya kemana kakimu? Pasien dengan santai menjawab, “kakiku sudah masuk surga duluan.”
Beberapa dokter, yang asli warga Palestina, kadang menunjukkan foto-foto keluarganya. Ada yang berkata, “ini adikku, ini kakakku, sudah sahid semua.” Yang lainnya bercerita, setiap berangkat bekerja dan meninggalkan keluarganya di tenda pengungsian, dia berpamitan, seakan itulah hari terakhir mereka. Assalamualaikum, sampai jumpa. Manakala mereka esoknya dapat bertemu lagi, itu sudah merupakan keberuntungan yang sangat disyukuri. Hidup benar-benar dijalani sehari demi sehari.
Begitu kelam keadaan, sehingga muslim Palesitina seolah kebal dengan kesedihan. Selama bertugas, dr. Dina mengaku tidak pernah mendengar ucapan “innalillahi” ketika mendengar ada kerabat yang wafat. Mereka justru mengucapkan: “Alhamdulillah, dia telah sahid.”
“Saya pernah bertanya, mengapa mereka begitu tabah dan imannya keren sekali? Mereka bilang, ambil semua ya Allah, anak-anakku mati sahid, ambil semua hingga Engkau Ridha kepadaku. Doa mereka adalah hasbunallah waknimalwakil, hanya Allah sebagai pelindung kami. Begitu tegar, sehingga orang Palestina tidak mau diungsikan ke luar negeri. Kalau kami pergi, siapa yang menjaga dan membela negara kami, begitu kata mereka,” ujar dr. Dina.
Setelah terjun di Gaza, dr. Faradina merasakan sesuatu yang terbalik. Dirinya yang semula merasa sebagai relawan yang memberi pertolongan, ternyata malah dia merasa dirinya yang ditolong oleh mereka. Ditolong mengenal makna hidup, diajari menjalankan Islam dengan gigih, hingga bagaimana memuliakan kematian. Menghayati arti sabar dan syukur sebagai kunci hidup. Kepergiannya ke Gaza yang semula merupakan perjalanan medis seolah menjadi perjalanan ruhani bagi dokter yang satu ini.
“Bayangkan, dalam suasana seperti itu mereka tetap salat lima waktu, tepat di awal waktu. Saya lihat orang Palestina tidak meninggalkan salat qobliyah empat rakaat sebelum mendirikan salat zuhur,” katanya.
- Faradina mengalami sendiri bagaimana dirinya sangat dihormati. Mereka umumnya cinta dan respek kepada orang Indonesia, karena mau datang jauh untuk membantu korban perang, sementara negara-negara tetangga mereka tidak sebegitu peduli.
Yang mengharukan adalah bagaimana mereka mengamalkan sunah Nabi dalam hal memuliakan tamu. Suatu ketika mereka makan beramai-ramai. Di situ ada lauk ayam, yang menurut mereka itu merupakan ayam pertama yang tersaji sejak sembilan bulan lalu.
“Lauk ayam itu didorong pelan-pelan ke arah saya. Saya mencuil sedikit untuk menghargai kebaikan tuan rumah, lalu saya sengaja mengunyah berlama-lama. Ketika ada kesempatan, tanpa setahu mereka, diam-diam ayam itu saya dorong balik ke arah mereka,” katanya.
Kini setelah pulang ke Indonesia dr Dina mengaku mengalami banyak perubahan dalam hidup keseharian. Contoh kecilnya, kalau minum selalu dihabiskan karena sadar di Gaza setetes air bening sangat berharga. Makan makanan apapun jadi bersyukur, sebab teringat bahwa makanan adalah barang mewah di bumi Palestina. (Adriono)
Sumber : Wawancara dr. Faradina Sulistiyani, Sp.B, M.Ked.Klin.
Jika Anda memiliki keluhan kesehatan dan membutuhkan penanganan untuk penyakit yang Anda alami, Anda bisa berkunjung ke RSI A. Yani agar segera mendapatkan penanganan yang sesuai dengan penyakit Anda.
Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi kami di:
- (031) 8284505
- 082133222246 / 47 (customer care)
Atau Anda bisa mengunjungi RSI A. Yani di Jl. Achmad Yani No.2-4, Wonokromo, Surabaya